Bersyukur

Alkisah, ada seorang pedagang kaya yang merasa dirinya tidak bahagia. Dari pagi-pagi buta, dia telah bangun dan mulai bekerja.

Siang hari bertemu dengan orang-orang untuk membeli atau menjual barang.

Hingga malam hari, dia masih sibuk dengan buku catatan dan mesin hitungnya.

Menjelang tidur, dia masih memikirkan rencana kerja untuk keesokan harinya.

Begitu hari-hari berlalu.

 Suatu pagi sehabis mandi, saat berkaca, tiba-tiba dia kaget saat menyadari rambutnya mulai menipis dan berwarna abu-abu. “Akh... Aku sudah menua.

Setiap hari aku bekerja, telah menghasilkan kekayaan begitu besar! Tetapi kenapa aku tidak bahagia? Ke mana saja aku selama ini?”

 Setelah menimbang, si pedagang memutuskan untuk pergi meninggalkan semua kesibukannya dan melihat kehidupan di luar sana. Dia berpakaian layaknya rakyat biasa dan membaur ke tempat keramaian. “Duh, hidup begitu susah, begitu tidak adil! Kita telah bekerja dari pagi hingga sore, tetapi tetap saja miskin dan kurang,” terdengar sebagian penduduk berkeluh kesah.

 Di tempat lain, dia mendengar seorang saudagar kaya; walaupun harta berkecukupan, tetapi tampak sedang sibuk berkata-kata kotor dan memaki dengan garang.

Tampaknya dia juga tidak bahagia.

 Si pedagang meneruskan perjalanannya hingga tiba di tepi sebuah hutan. Saat dia berniat untuk beristirahat sejenak di situ, tiba-tiba telinganya menangkap gerak langkah seseorang dan teriakan lantang, Alhamdullilah Tuhan, terima kasih.

Hari ini aku telah mampu menyelesaikan tugasku dengan baik.

Hari ini aku telah pula makan dengan kenyang dan nikmat.
Terima kasih Tuhan,

 Engkau telah menyertaiku dalam setiap langkahku.

Dan sekarang, saatnya hambamu hendak beristirahat.”

 Setelah tertegun beberapa saat dan menyimak suara lantang itu, si pedagang bergegas mendatangi asal suara tadi. Terlihat seorang pemuda berbaju lusuh telentang di rerumputan.
Matanya terpejam. Wajahnya begitu bersahaja. Mendengar suara di sekitarnya, dia terbangun.

Dengan tersenyum dia menyapa ramah, “Hai, Pak Tua. Silahkan beristirahat di sini.”

 “Terima kasih, Anak Muda. Boleh bapak bertanya?” tanya si pedagang. “Silakan.”

 “Apakah kerjamu setiap hari seperti ini?”

 “Tidak, Pak Tua.

Menurutku, tak peduli apapun pekerjaan itu, asalkan setiap hari aku bisa bekerja dengan sebaik2nya dan pastinya aku tidak harus mengerjakan hal sama setiap hari. Aku senang, orang yang kubantu senang, orang yang membantuku juga senang, pasti Tuhan juga senang di atas sana. Ya kan?

Dan akhirnya, aku perlu bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas semua pemberiannya ini”. 

Teman-teman yang luar biasa,

Kenyataan di kehidupan ini, kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan sebesar apapun tidak menjamin rasa bahagia.

Bisa kita baca kisah hidup seorang maha bintang Michael Jackson, yang berhutang di antara kelimpahan kekayaannya.

Dia hidup menyendiri dan kesepian di tengah keramaian penggemarnya; tidak bahagia di tengah hiruk pikuk bumi yang diperjuangkannya.

 Entah seberapa kontroversial kehidupan Michael Jackson.

Tetapi, yah… setidaknya, dia telah berusaha berbuat yang terbaik dari dirinya untuk umat manusia lainnya. 

Mari, jangan sampai kita menjadi budaknya materi.

Mampu bersyukur merupakan kebutuhan manusia.

Mari kita berusaha memberikan yang terbaik bagi diri kita sendiri, lingkungan kita, dan bagi manusia-manusia lainnya. Sehingga, kita senantiasa bisa menikmati hidup ini penuh dengan sukacita, syukur, dan bahagia.
Read more

Prasangka Buruk

Di sebuah negeri zaman dulu kala, seorang pelayan raja tampak gelisah. Ia bingung kenapa raja tidak pernah adil terhadap dirinya.

Hampir tiap hari, secara bergantian, pelayan-pelayan lain dapat hadiah. Mulai dari cincin, kalung, uang emas, hingga perabot antik. Sementara dirinya tidak.

 Hanya dalam beberapa bulan, hampir semua pelayan berubah kaya.

Ada yang mulai membiasakan diri berpakaian sutera.

Ada yang memakai cincin di dua jari manis, kiri dan kanan.

Dan, hampir tak seorang pun yang datang ke istana dengan berjalan kaki seperti dulu.

Semuanya datang dengan kendaraan.

Mulai dari berkuda, hingga dilengkapi dengan kereta dan kusirnya.

 Ada perubahan lain. Para pelayan yang sebelumnya betah berlama-lama di istana, mulai pulang cepat.

Begitu pun dengan kedatangan yang tidak sepagi dulu.

Tampaknya, mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing.

 Cuma satu pelayan yang masih miskin. Anehnya, tak ada penjelasan sedikit pun dari raja.

Kenapa beliau begitu tega, justru kepada pelayannya yang paling setia.

Kalau yang lain mulai enggan mencuci baju dalam raja, si pelayan miskin ini selalu bisa.

 Hingga suatu hari, kegelisahannya tak lagi terbendung. "Rajaku yang terhormat!" ucapnya sambil bersimpuh. Sang raja pun mulai memperhatikan. "Saya mau undur diri dari pekerjaan ini," sambungnya tanpa ragu.

Tapi, ia tak berani menatap wajah sang raja. Ia mengira, sang raja akan mencacinya, memarahinya, bahkan menghukumnya.

Lama ia tunggu. "Kenapa kamu ingin undur diri, pelayanku?" ucap sang raja kemudian.

Si pelayan miskin itu diam. Tapi, ia harus bertarung melawan takutnya.

Kapan lagi ia bisa mengeluarkan isi hati yang sudah tak lagi terbendung. "Maafkan saya, raja.

Menurut saya, raja sudah tidak adil!" jelas si pelayan, lepas.

Dan ia pun pasrah menanti titah baginda raja. Ia yakin, raja akan membunuhnya.

 Lama ia menunggu. Tapi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut raja. Pelan, si pelayan miskin ini memberanikan diri untuk mendongak.

Dan ia pun terkejut. Ternyata, sang raja menangis. Air matanya menitik.

 Beberapa hari setelah itu, raja dikabarkan wafat.

Seorang kurir istana menyampaikan sepucuk surat ke sang pelayan miskin.

Dengan penasaran, ia mulai membaca, "Aku sayang kamu, pelayanku. Aku hanya ingin selalu dekat denganmu. Aku tak ingin ada penghalang antara kita. Tapi, kalau kau terjemahkan cintaku dalam bentuk benda, kuserahkan separuh istanaku untukmu.

Ambillah. Itulah wujud sebagian kecil sayangku atas kesetiaan dan ketaatanmu."

 ***

makna nya jangan karena hidup kita susah/senang, sehingga menjadi penghalang kita untuk dekat kepada sang raja/Allah yang mempunyai kekuasaan langit dan bumi alam dan isinya.

Betapa hidup itu memberikan warna-warni yang beraneka ragam.
Ada susah, ada senang. Ada tawa, ada tangis. Ada suasana mudah.

Dan, tak jarang sulit. Sayangnya, tak semua hamba-hamba Yang Maha Diraja bisa meluruskan sangka.

Ada kegundahan di situ.

Kenapa kesetiaan yang selama ini tercurah, siang dan malam; tak pernah membuahkan bahagia.

Kenapa yang setia dan taat pada Raja, tak dapat apa pun.

 Sementara yang main-main bisa begitu kaya.
 Karena itu, kenapa tidak kita coba untuk sesekali menatap ‘wajah’Nya.

Pandangi cinta-Nya dalam keharmonisan alam raya yang tak pernah jenuh melayani hidup manusia, menghantarkan si pelayan setia kepada hidup yang kelak lebih bahagia.

 Pandanglah, insya Allah, kita akan mendapati jawaban kalau Sang Raja begitu sayang pada kita.
Read more

Sebuah Isyarat

Suatu malam di sebuah rumah, seorang anak usia tiga tahun sedang menyimak sebuah suara. "Ting…ting…ting! Ting…ting…ting!"
Pikiran dan matanya menerawang ke isi rumah.

Tapi, tak satu pun yang pas jadi jawaban. "Itu suara pedagang bakso keliling, Nak!" suara sang ibu menangkap kebingungan anaknya.

 "Kenapa ia melakukan itu, Bu?" tanya sang anak polos.

Sambil senyum, ibu itu menghampiri. "Itulah isyarat. Tukang bakso cuma ingin bilang, ‘Aku ada di sekitar sini!" jawab si ibu lembut.

 Beberapa jam setelah itu, anak kecil tadi lagi-lagi menyimak suara asing.

Kali ini berbunyi beda. Persis seperti klakson kendaraan. "Teeet…teeet….teeet!" Ia melongok lewat jendela.

Sebuah gerobak dengan lampu petromak tampak didorong seseorang melewati jalan depan rumahnya. Lagi-lagi, anak kecil itu bingung.

Apa maksud suara itu, padahal tak sesuatu pun yang menghalangi jalan.

Kenapa mesti membunyikan klakson. Sember lagi! "Anakku. Itu tukang sate ayam.

 Suara klakson itu isyarat. Ia pun cuma ingin mengatakan, ‘Aku ada di dekatmu! Hampirilah!" ungkap sang ibu lagi-lagi menangkap kebingungan anaknya.

 "Kok ibu tahu?" kilah si anak lebih serius.

Tangan sang ibu membelai lembut rambut anaknya. "Nak, bukan cuma ibu yang tahu.

 Semua orang dewasa pun paham itu. Simak dan pahamilah.

Kelak, kamu akan tahu isyarat-isyarat itu!" ucap si ibu penuh perhatian.

**

 Di antara kedewasaan melakoni hidup adalah kemampuan menangkap dan memahami isyarat, tanda, simbol, dan sejenisnya.

Mungkin, itulah bahasa tingkat tinggi yang dianugerahi Allah buat makhluk yang bernama manusia.

 Begitu efesien, begitu efektif. Tak perlu berteriak, tak perlu menerabas batas-batas etika; orang bisa paham maksud si pembicara. Cukup dengan berdehem ‘ehm’ misalnya, orang pun paham kalau di ruang yang tampak kosong itu masih ada yang tinggal.

 Di pentas dunia ini, alam kerap menampakkan seribu satu isyarat.

Gelombang laut yang tiba-tiba naik ke daratan, tanah yang bergetar kuat, cuaca yang tak lagi mau teratur, angin yang tiba-tiba mampu menerbangkan rumah, dan virus mematikan yang entah darimana sekonyong-konyong hinggap di kehidupan manusia.

 Itulah bahasa tingkat tinggi yang cuma bisa dimengerti oleh mereka yang dewasa.

Itulah isyarat Tuhan: "Aku selalu di dekatmu, kemana pun kau menjauh!" Simak dan pahamilah.

Agar, kita tidak seperti anak kecil yang cuma bisa bingung dan gelisah dengan kentingan tukang bakso dan klakson pedagang sate ayam.
Read more

Siapa Laki Laki Itu

Apa kabarmu disana nak? Dikota yang berjarak dua jam perjalanan dari sini, apa kau masih mengingat orang tua renta ini?

Yang setiap saat tak henti mendoakan segala yang terbaik untukmu. Ah.. ayah ingat ketika siang itu, sebelum berangkat kekota, dengan wajah malu-malu kau bercerita tentang niat seorang laki-laki untuk meminangmu.

Kau tahu nak_ sudah lama ayah bersiap untuk menanti kabar ini, kabar tentang seorang yang akan membawamu pergi jauh dari ayah.

Kabar tentang laki-laki yang meminta pengalihan tanggung jawab dari ayah.. sungguh sudah lama ayah mempersiapkan diri.

Tapi tetap saja siang itu ayah terkejut, meski mungkin tidak begitu terlihat diwajah ayah. Siapa dia nak?

Siapa laki-laki yang berani memintamu dari ayah?

Bawa dia kesini... biar ayah lihat dulu, seberapa mampu dia meyakinkan ayah bahwa dia akan memperlakukan dan menjagamu tidak kurang dari ayah.

Bawa dia kesini nak... biar ayah nilai dulu, seberapa tulus dia menyayangi dan membimbingmu tidak kurang dari ayah. Ayo bawa dia kesini... biar ayah pertimbangkan dulu, seberapa baik agamanya, seberapa besar tanggung jawabnya, dan seberapa sabar dia menghadapi putri kecil ayah.

 Nak_ ayah tahu siang itu akan datang, siang yang mengharuskan ayah untuk menyadari bahwa putri kecil ayah akan segera menggenapkan setengah agamanya, dengan bakti pada dia yang belum ayah kenali.

Padahal dimata ayah, kamu masih gadis kecil yang beberapa waktu lalu merengek minta dibelikan benang untuk layangan, sebab teman-teman seusiamu yang rata-rata laki-laki sudah punya benang yang panjang untuk layangan mereka.

 Rasanya kamu masih gadis kecil ayah yang mengadu dengan mata berkaca-kaca bahwa benang layangannya telah kusut, yang terkantuk-kantuk menunggui ayah memperbaikinya agar bisa bermain lagi esok paginya.

Yang dulu melempar sepatunya kelaut sebagai alasan meminta ayah mengizinkanmu bermain air.

Yang dulu membongkar tas ayah, mencari receh untuk celengan ayammu diatas lemari.

 Dan kemarin, ketika dengan izin ayah, kau pergi berkenalan dengan keluarga besarnya.

Kembali ayah harus segera menyadari bahwa binar yang kau bawa pulang itu tidak biasa, binar yang belum pernah ayah lihat ketika dengan antusias kau bercerita.

Sebenarnya nak, ayah cemburu. ayah mencemburui dia yang tiba-tiba datang tapi sudah mampu menghadirkan getar-getar rasa yang terlihat dirona wajahmu.

Tapi percayalah nak, kecemburuan itu segera ayah tepis, ayah usir dengan keyakinan bahwa posisi ayah dan posisinya itu tidak disatu tempat.

Bahwa warna cinta untuk ayah tidak sama dengan warna cinta untuknya. Ayah tidak salah, bukan? Sedikit pesan ayah... setelah nanti kau ayah serahkan dengan disaksikan oleh para malaikat.

Jadilah pendamping yang patuh nak, yang senantiasa bersyukur dan berterimakasih, yang menjaga diri dan hartanya, yang tidak mudah menuduh dan menyakiti hatinya, yang menyimpan rahasia dan menutupi aibnya. sebab tidak mudah untuk menjadi seorang suami, tidak mudah untuk menjadi orang yang bertanggung jawab penuh terhadap orang lain, yang harus menjaga dirinya dan ahlinya dari api neraka.

Jadi sekali lagi nak... jangan bebani dia, tapi bantulah dia sesuai peran yang kau punya.
Read more

Dendam Itu Berubah

SEORANG lelaki yang baru menikah tinggal menumpang di rumah mertuanya.

Beberapa saat tinggal bersamanya, akhirnya ia demikian kesal dengan ibu mertuanya yang menurutnya sangat brengsek, cerewet, bawel, bossy, dan angkuh sekali.

 Setelah dua tahun, baginya cukup sudah penderitaan itu. Ia memutuskan untuk mengakhiri dengan berencana membunuh ibu mertuanya.

 Setelah memutar otak, ia pergi mendatangi dukun yang paling sakti di daerahnya.

 Usai bercerita dengan penuh kegeraman, sang dukun tersenyum dan mengangguk-angguk.

Diberinya sebotol cairan yang menurut petunjuk dukun adalah racun yang sangat mematikan.

 Syaratnya harus diberikan sedikit demi sedikit selama 2 bulan, dan dalam memberikan ia diharuskan bersikap manis, berkata lebih sopan, serta selalu tersenyum.

Hal ini untuk membuat si mertua supaya tidak mencurigainya.

Dengan penuh kesabaran, hari demi hari ia mulai meracuni si mertua, tentunya dengan sikap manis, tutur kata yang lebih santun serta senyum yang tidak lepas dari mulutnya.

Perlahan namun pasti ia mulai melihat perubahan pada mertuanya.

 Ada satu hal yang membuatnya bingung, setelah satu bulan ia meracuni mertuanya, kelakuan mertua ini justru berubah menjadi demikian baik padanya.

Sikapnya berubah 180 derajat dari sebelumnya, ia mulai menyapa lebih dahulu setiap kali ketemu. Pikirnya, ini pasti akibat awal dari racun itu, yakni adanya perubahan sikap sebelum akhirnya meninggal.

Mendekati hari ke-40 sikap mertua semakin baik dan hubungan dengannya semakin manis, ia mulai membuatkan minum teh di pagi hari, menyediakan pisang goreng dan seterusnya.

Sebuah perilaku mertua yang dulu tidak pernah ia bayangkan akan terjadi.

 Puncaknya pada hari ke-50 mertua memasakkan makanan yang paling ia sukai, bahkan di pagi harinya ia terkejut saat mendapati bajunya sudah dicuci bahkan diseterika oleh si mertua.

Tak ayal lagi, hati kecilnya mulai memberontak.

Muncullah rasa bersalah yang makin hari makin menguat.

Pada hari ke-55, sudah tak terbendunglagi penyesalan itu, karena melihat perubahan si Ibu mertua yang menjadi sedemikian sayang padanya.

Akhirnya pergilah ia ke dukun itu lagi, dengan terbata-bata penuh penyesalan dan rasa berdosa ia memohon-mohon untuk dibuatkan penangkal racun yang pernah diberikan sang dukun padanya.

 Dengan senyum bijaksana bak malaikat, dukun itu berkata “Cairan yang kuberikan padamu dulu itu bukanlah racun, namun air biasa yang kuberi warna saja.

Sikap mertuamu yang berubah menjadi sayang padamu, disebabkan karena SIKAP DIRIMU YANG TERLEBIH DAHULU BERUBAH MENJADI LEBIH RAMAH, LEBIH SANTUN DAN SELALU SENYUM PADANYA.”

 Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah di atas.

Pertama, sikap buruk/penolakan orang lain, hanyalah sebagai akibat/reaksi atas sikap buruk kita padanya.

Kedua, kalau mau mengubah orang lain, kitalah yang berubah dahulu.

Ketiga, tidak semua ‘dukun’ salah. Kita juga harus jadi ‘dukun’ kalau sukses belajar yakni ‘duduk dengan tekun’.

Keempat: Selamat mencoba!
Read more

uang 20 ribu

TERSEBUTLAH kisah, seorang Imam yang dipanggil ke suatu tempat untuk menjadi Imam di sebuah masjid. Ia pun hendak berangkat ke tempat itu, telah menjadi kebiasaan, Imam tersebut selalu menaiki bus untuk pergi ke masjid.

Pada suatu hari, selepas Imam tersebut membayar tiket dan duduk di dalam bus, dia tersentak saat kondektur bus tersebut memberikan uang kembaliannya, ternyata uang itu lebih, dari yang seharusnya ia kembalikan, sebanyak 20 ribu. Sepanjang perjalanan Imam tersebut memikirkan tentang uang 20 ribu tersebut.

“Perlukah aku mengembalikan uang 20 ribu ini?” Imam tersebut bertanya kepada dirinya.
“Ah… pemilik bus ini sudah kaya, rasanya hanya uang sebesar 20 ribu tidak akan menjadi masalah. Untuk membeli bensin pun tidak akan cukup,” hati kecilnya berkata-kata.

Sesampainya di masjid, Imam itu pun segera menghentikan bus dengan membunyikan bel. Bus pun berhenti.
Namun, saat akan turun Imam itu merasakan kaku tubuhnya.

Seketika itu juga ia berhenti berjalan dan berpaling kepada kondektur bus, sambil mengembalikan uang 20 ribu yang tadinya takkan dia kembalikan.

“Tadi, kamu memberikan uang kembalian terlalu banyak kepada saya,” kata Imam kepada kondektur bus.
“Oh, terima kasih!

Kenapa dikembalikan pak? padahal uang 20 ribu itu sangat kecil nilainya,” tutur kondektur bus. Sang Imam pun menjawab, “Uang tersebut bukan milik saya, sebagai seorang muslim saya harus berlaku jujur.” Kondektur bus tersebut tersenyum dan berkata,

“Sebenarnya saya sengaja memberi uang kembalian lebih sebanyak 20 ribu, saya ingin tahu kejujuran anda wahai Imam.” Imam tersebut turun dari bus dan seluruh jasadnya menggigil kedinginan. Imam tersebut berdoa sambil menadah tangan, “Astaghfirullah! Ampunkan aku ya Allah, aku hampir-hampir menjual harga sebuah iman dengan 20 ribu.”

Kini, banyak sekali orang yang dengan mudahnya menukar keimanan dengan beberapa bungkus mie atau sedikit beras.

Hanya untuk mengenyangkan perut, tanpa mengingat balasan yang akan didapat di dunia ataupun di akhirat. 

Banyak orang yang tidak sadar, uang yang dia konsumsi akhirnya akan menyalakan api di akhirat kelak. “Sedikit kok,” mungkin begitulah tadinya para petinggi yang menyalahgunakan uang umat.

 Tapi akhirnya godaan setan terus memperdengarkan nyanyian neraka lalu tergoda kembali untuk mengambil uang yang bukan haknya sedikit demi sedikit
Read more

Penghormatan Terakhir

Suatu hari di sebuah perusahaan, ketika para karyawannya kembali dari istirahat dan makan siang, mereka dikejutkan dengan sebuah pengumuman yang dipasang di pintu depan kantor tersebut. Pengumuman tersebut berbunyi, “Telah meninggal dunia orang yang telah menghambat karir Anda di kantor. Seluruh karyawan diharap berkumpul di aula untuk memberikan penghormatan terakhir…”
Setiap orang yang membaca pengumuman tersebut menjadi sedih, sekaligus bertanya-tanya siapa sebenarnya orang yang meninggal tersebut, karena mereka tidak mendengar ada kabar rekan kerja mereka meninggal.
Rasa penasaran para karyawan tersebut semakin meninggi saat tiba di aula untuk melakukan penghormatan terakhir. Setiap karyawan bertanya-tanya, “Siapakah orang ini yang menghambat karir saya? Tapi setidaknya dia sudah mati hari ini!”
Satu per satu karyawan diberi kesempatan mendekat ke peti mati yang terletak di tengah aula dan saat mereka melihat ke dalam peti mati tiba-tiba mereka tercekat dan tidak bisa berkata apa-apa. Mereka berdiri di dekat peti mati, terkejut dan diam, seperti ada yang menyentuh bagian yang terdalam dari jiwa-jiwa mereka.
Ada sebuah cermin dalam peti mati tersebut, dan setiap orang yang melongok ke dalam akan melihat dirinya sendiri. Di samping cermin tersebut terdapat sebuah tulisan, “Hanya ada satu orang yang mampu mengatur batas kemampuan dan karir Anda, yaitu ANDA SENDIRI.”
Anda adalah orang satu-satunya yang dapat me-revolusi diri Anda sendiri. Anda adalah satu-satunya orang yang dapat mempengaruhi kebahagiaan Anda, me-realisasikan sukses Anda sendiri. Dan Anda satu-satunya orang yang dapat membantu diri Anda sendiri.
Hidup Anda tidak berubah ketika atasan atau bos Anda berubah, ketika teman-teman Anda berubah, ketika orang tua Anda berubah, ketika perusahaan berubah. Hidup Anda berubah ketika ANDA berubah, ketika Anda dapat berpikir melampaui keyakinan Anda yang membatasi, ketika Anda sadar bahwa Anda-lah satu-satunya orang yang bertanggung jawab pada hidup Anda.
Read more