Bukan Sekadar Ngopi
![]() |
Pagi hari ku ajak mereka ke pantai untuk melihat pemandangan deretan pohon cemara laut dipadu ombak yang bersahabat ciri khas laut Jawa. Sebenarnya kami mengincar sunrise, tapi apa daya kami bangun kesiangan.
Perjalanan ke pantai salah seorang teman terlihat memperhatikan kelenteng yang memiliki ukiran kayu klasik berwarna-warni di bagian dalam tubuh. “Kelentenge apik, dolan kene sik wae”, menurut temanku kelentengnya bagus dan ajak masuk untuk melihat-lihat.
Kamipun masuk ke halaman depan kelenteng dan bertemu seorang pengurus kelenteng tersebut untuk meminta ijin masuk ke dalam kelenteng. Tak hanya masuk kami juga didampingin pengurus kelenteng tadi dan beberapa hal mengenai kelenteng tersebut.
Kelenteng yang kami kunjungi benama Cu An Kiong, dibangun sekitar abad 16 dan konon merupakan kelenteng tertua di Lasem. Di dalamnya terdapat ukiran cukup mendetail dengan warna antik yang tidak terlalu cemerlang. Kami juga melihat lukisan lukisan diatas keramik. Menurut penuturan, pengurus kelenteng didatangkan langsung dari Cina.
Bisa dibilang Lasem dengan banyak warisan budaya. Peninggalan-peninggalan bangsa Cina seperti kelenteng adalah salah satunya. Ada yang masih terawat dan beberapa kali dipugar, ada pula yang hanya tinggal cerita karena tergerus modernisasi.
Puas melihat-lihat isi kelenteng beserta ceritanya kamipun mohon diri. Kami berterimakasih pada pengurus kelenteng untuk keramahannya lalu menuju tempat tujuan utama yaitu pantai. Di pantai temanku nyeletuk, “pantai ki wis mainstream, nyanyian anti-mainstream koyo kelenteng mau ono rak?”. Temanku bilang kalau pantai sudah terlalu biasa dan menanyakan ada tempat tidak biasa dan unik seperti kelenteng tadi atau tidak.
Setelah menilai beberapa saat aku jawab “Ada. Warung kopi! ". Aku Sedikit beseru, sengaja biar Heran. Seperti dugaanku, mereka bertanya-tanya unik darimananya warung kopi ITU. 'Wis melu wae'Ayo Ikut Saja, Tambahku.
Kami pulang dan segera bersih diri lalu sarapan pagi. Agak siang kami berangkat menuju salah satu warung kopi lelet khas Lasem. Perjalanan ku jelaskan sedikit bahwa mereka harus menikmati kopi Lasem dan mencoba ngelelet.
Rasa kopi Lasem seperti rasa kopi khas pedasaan, pekat dan pahitnya tersisa lama di lidah. Ada kenikmatan dalam menikmati kopi Lasem dalam keadaan panas. Caranya, kopi panas dituangkan pada tatakan cangkir lalu meminumnya sampai terdengar suara “sruuuuttt”.
Di kedai-kedai kopi di kota mungkin hal tersebut akan memalukan, tapi di warung kopi Lasem itu adalah kenikmatan. Maka jika berkesempatan mengunjungi atau melewati kota Lasem, coba sempatkan menikmati secangkir kopi panas khas Lasem ini.
Masyarakat Lasem biasanya datang ke warung kopi untuk melepas penat dan berkumpul dengan teman untuk mengobrol. Ngopi di Lasem tidak tergantung waktu, baik pagi, siang, dan malam warung-warung kopi di Lasem selalu banyak pengunjung. Dari kebiasan inilah lahir budaya ngelelet.
Kami sampai di warung dan aku memesan 3 cangkir kopi. Pesanan datang dan pertunjukan dimulai.Aku meminta mereka untuk segera menghabiskan kopi, lalu menuangkan ampas kopinya di tatakan cangkir.
Mereka memperhatikanku mengambil tissu dan meletakkan diatas ampas kopi tadi. Ku jelaskan hal tersebut berfungsi untuk mengurangi kadar airnya.
Kemudian menambahkan susu untuk sedikit mengentalkan serta sebagai perekat saat ditempelkan di batang rokok. Diaduk secukupnya dan jadilah adonan lelet.
Adonan yang sudah jadi kemudian digunakan sebagai 'cat' untuk melukis. Caranya dengan menggunakan tusuk gigi yang dicelupkan di adonan, kemudian digambar di kertas rokok dengan berbagi motif dan pola. Ada juga yang menggunakan benang jahit untuk membuat lapisan kopi yang tipis.
Proses semua sudah kutunjukkan dan kedua temanku mulai berhenti. Ya, namanya sedang belajar harus ada gagalnya. Aku tertawa saat salah seorang temanku mencoba ngelelet di rokoknya tapi kemudian rokoknya patah.
Adonannya ternyata terlalu encer sehingga terlalu membasahi tembakau didalamnya dan menyebabkan rokok patah. Namun setelah kejadian lagi mereka terlihat puas dengan pengalaman barunya.
Karena aku bukan perokok, aku meminta kedua temanku mencoba menghisap rokok hasil leletan-nya dan meminta kometarnya. Kedua temanku berkomentar sama kalau rokok hasil leletan dengan rasa yang berbeda, ada aroma kopinya dan sedikit berat saat dihisap. “Mantep pokoke”, tambah mereka.
Ada satu hal kunci dari budaya ngelelet ini, yaitu serbuk kopi yang sangat lembut. Biji kopi yang sudah digoreng biasanya bisa digiling sampai 5-6 kali. Karena serbuk kopi yang seperti tepung inilah ampas kopinya dapat digunakan untuk ngelelet.
Budaya ngelelet khas Lasem kini menyebar karena banyak orang asli Lasem yang siap untuk usaha warung kopi di daerah lain. Siapa sangka budaya berkumpul di warung kopi membuat kota yang bahkan tidak punya kebun kopi terkenal karena budaya kopinya.
Warung kopi Lasem mampu menggabungkan gabungan dan kopi menjadi budaya yang unik dan sangat jarang ditemui yaitu kopi lelet. Memang benar, hal kecil yang tak memperhatikan kelewat menyimpan sebuah kejutan.
Sebagian orang menyebut budaya kopi lelet ini dengan sebutan mbatik atau membatik. Hal ini mungkin karena kegiatan ngelelet pada batang rokok ibaratnya seseorang membatik di kain.
Tentu ada wujudnya juga dengan Lasem, karena Lasem dikenal dengan sentra batik tulisnya yang kemudian menjadi inspirasi saat ngelelet.
Di Lasem, warung kopi juga sebagai tempat ajang menciptakan karya seni. Seni ngelelet yang sangat khas kemudian menjadi identitas kota Lasem. Meskipun sekarang banyak dijumpai di daerah lain, kopi lelet masih asli Lasem.
Kopi sudah habis, kedua temanku pun sudah puas belajar ngelelet dan menikmati rokok hasil leletan sendiri. Kami lalu pulang, setelah membayar tentunya. Kedua temanku sempat kaget dengan harga jika dibandingkan dengan kedai kopi di daerah tempat kuliah. Sangat murah untuk secangkir kopi dan pengalaman ngelelet yang berharga.
0 comments: