KMPLAYER

Bagaimana Allah Manyiksa Manusia Sedangkan Takdir Sudah Ditentukan Oleh-Nya
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin ditanya : “Ada polemik yang dirasakan sebagian manusia, yaitu bagaimana Allah akan menyiksa karena maksiat, padahal telah Dia takdirkan hal itu atas manusia ?”
Jawaban. Sebenarnya hal ini bukanlah polemik.
Langkah manusia untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa karenanya bukanlah persoalan yang sulit. Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan : “Lakukanlah perbuatan munkar itu”, akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri. Allah telah berfirman. “Artinya : Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk kepadanya pada jalan (yang benar), maka adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur” [Al-Insan : 3]
Maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang jalan (yang benar).
Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya.
Penjelasan (Allah) tersebut pertama dengan Ilzam (keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan (penjelasan).
Dalam hal Ilzam, maka kita dapat mengatakan kepada seseorang : Amal duniawi dan amal ukhrawimu sebenarnya sama dan seharusnya anda memperlakukan keduanya secara sama.
Sebagai hal yang maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan duaniawi yang telah direncanakan. Yang pertama kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan yang kedua merugikan dirimu.
Maka pastilah anda akan memilih pekerjaan pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan tidak mungkin anda memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan : “Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (piliha kedua).
Dengan demikian, apa yang telah anda tetapkan dalam menempuh jalan dunia semestinya anda lakukan dalam menempuh jalan ukhrawi. Kita dapat mengatakan : Allah telah menawarkan di hadapanmu dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang berupa amal-amal yang menyalahi syara’ dan amal shalih yang berupa amal-amal yang sesuai dengan syara’.
Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi anda memilih perbuatan yang baik, mengapa anda tidak memilih amal baik dalam amal akhirat.
Karena itu, seharusnya anda memilih amal baik di dalam mencari akhirat sebagaimana anda harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara Ilzam.
Adapun cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita. Allah berfirman. “Artinya : Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok” [Luqman : 34]
Maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya.
Oleh karena itu, sebagian ulama’ mengatakan : “Sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup”. Dan kita semua tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi.
Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan, maka bukan berarti kita melakukannya atas dasar bahwa perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita.
Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan pilihan kita sendiri dan ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah mentakdirkannya untuk kita. Oleh karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan tersebut.
Disebutkan dari Amirul Mu’minin, Umar bin Kahtthab, sebuah kisah (mungkin benar dari beliau mungkin tidak) bahwa seorang pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan dilaporkan kepada beliau. Ketika Umar menyuruh untuk memotong tangannya, dia mengatakan : “Tunggu dulu hai Amirul Mu’minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar Allah”. Umar mengatakan : “Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena Qadar Allah”.
Maka Umar berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan pencuri tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang Islam.
Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan Syari’at, karena beliau diperintahkan untuk memotong tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau berargumentasi dengan Qadar karena argumentasi tersebut lebih tepat mengenai sasaran.
Berdasarkan hal itu, maka seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat ma’siyat kepada Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan dalam hal di atas.
Allah berfirman. “Artinya : (Aku telah mengutus) para rasul yang membawa berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para rasul” [An-Nisa : 165]
Sementara semua amal manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah.
Walaupun Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan terutusnya para rasul selamanya.
Dengan demikian jelas bahwa tidak layak berbuat ma’siyat dengan alasan Qadha’ dan Qadar Allah, karena dia tidak dipaksa untuk melakukannya.
Semoga Allah memberi Taufiq.
Langkah manusia untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa karenanya bukanlah persoalan yang sulit. Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan : “Lakukanlah perbuatan munkar itu”, akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri. Allah telah berfirman. “Artinya : Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk kepadanya pada jalan (yang benar), maka adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur” [Al-Insan : 3]
Maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang jalan (yang benar).
Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya.
Penjelasan (Allah) tersebut pertama dengan Ilzam (keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan (penjelasan).
Dalam hal Ilzam, maka kita dapat mengatakan kepada seseorang : Amal duniawi dan amal ukhrawimu sebenarnya sama dan seharusnya anda memperlakukan keduanya secara sama.
Sebagai hal yang maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan duaniawi yang telah direncanakan. Yang pertama kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan yang kedua merugikan dirimu.
Maka pastilah anda akan memilih pekerjaan pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan tidak mungkin anda memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan : “Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (piliha kedua).
Dengan demikian, apa yang telah anda tetapkan dalam menempuh jalan dunia semestinya anda lakukan dalam menempuh jalan ukhrawi. Kita dapat mengatakan : Allah telah menawarkan di hadapanmu dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang berupa amal-amal yang menyalahi syara’ dan amal shalih yang berupa amal-amal yang sesuai dengan syara’.
Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi anda memilih perbuatan yang baik, mengapa anda tidak memilih amal baik dalam amal akhirat.
Karena itu, seharusnya anda memilih amal baik di dalam mencari akhirat sebagaimana anda harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara Ilzam.
Adapun cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita. Allah berfirman. “Artinya : Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok” [Luqman : 34]
Maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya.
Oleh karena itu, sebagian ulama’ mengatakan : “Sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup”. Dan kita semua tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi.
Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan, maka bukan berarti kita melakukannya atas dasar bahwa perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita.
Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan pilihan kita sendiri dan ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah mentakdirkannya untuk kita. Oleh karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan tersebut.
Disebutkan dari Amirul Mu’minin, Umar bin Kahtthab, sebuah kisah (mungkin benar dari beliau mungkin tidak) bahwa seorang pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan dilaporkan kepada beliau. Ketika Umar menyuruh untuk memotong tangannya, dia mengatakan : “Tunggu dulu hai Amirul Mu’minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar Allah”. Umar mengatakan : “Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena Qadar Allah”.
Maka Umar berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan pencuri tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang Islam.
Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan Syari’at, karena beliau diperintahkan untuk memotong tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau berargumentasi dengan Qadar karena argumentasi tersebut lebih tepat mengenai sasaran.
Berdasarkan hal itu, maka seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat ma’siyat kepada Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan dalam hal di atas.
Allah berfirman. “Artinya : (Aku telah mengutus) para rasul yang membawa berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para rasul” [An-Nisa : 165]
Sementara semua amal manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah.
Walaupun Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan terutusnya para rasul selamanya.
Dengan demikian jelas bahwa tidak layak berbuat ma’siyat dengan alasan Qadha’ dan Qadar Allah, karena dia tidak dipaksa untuk melakukannya.
Semoga Allah memberi Taufiq.
kisah Istri yang 3 Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suaminya
Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”.
Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak ada peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.
Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.
Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.
Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa- apa.”
Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran.
Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri. Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter.
Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan menelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.
Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.
Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.
Lima tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama sembilan tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata: ”betapa baik dan shalihah- nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”.
Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.
Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.
Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, psikologis sang istri drop dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bedrest di rumah sakit.
Di saat yang genting itu, tiba- tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?” kata sang istri. “Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat” kata sang suami.
Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri.
Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur. Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apaan dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.
Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.
Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak lain melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.
Dan subhanallah … Setelah Sembilan bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak.
Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.
Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.
Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan.
Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya. Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung.
Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi- jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf kepada suaminya.
Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.
Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulan sang istri tidak berani menatap wajah suaminya.
Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak ada peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.
Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.
Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.
Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa- apa.”
Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran.
Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri. Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter.
Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan menelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.
Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.
Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.
Lima tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama sembilan tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata: ”betapa baik dan shalihah- nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”.
Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.
Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.
Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, psikologis sang istri drop dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bedrest di rumah sakit.
Di saat yang genting itu, tiba- tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?” kata sang istri. “Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat” kata sang suami.
Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri.
Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur. Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apaan dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.
Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.
Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak lain melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.
Dan subhanallah … Setelah Sembilan bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak.
Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.
Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.
Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan.
Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya. Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung.
Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi- jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf kepada suaminya.
Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.
Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulan sang istri tidak berani menatap wajah suaminya.
Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.
aku ingin mati!!!!!
Seorang pria mendatangi Sang ustad, “ustad, saya sudah bosan hidup.
Sudah jenuh betul.
Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau.
Apapun yang saya lakukan selalu berantakan.
Saya ingin mati.” Sang ustad tersenyum dan menasehatinya dengan berbagai cara dan lembut,serta siap membantunya, namun pria itu menolak tawaran sang ustad dan bertekad untuk tetap mati agar hatinya tenang.
Dengan lembut sang ustad berkata ;“Jadi kamu tidak ingin sembuh.
Kamu betul-betul ingin mati?” “Baik, besok sore kamu akan mati.
Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.” Giliran dia menjadi bingung.
Setiap ustad yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup.
Yang satu ini aneh. Ia bahkan menawarkan racun.
Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Pulang kerumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh ustad edan itu.
Dan, ia merasakan ketenangan sebagaimana tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Begitu rileks, begitu santai!. Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati.
Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang.
Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir.
Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget!
Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan membisiki di kupingnya, “Sayang, aku mencintaimu. “Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar.
Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya.
Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi.
Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur.
Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi.
Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya.
Karena pagi itu adalah pagi terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Sang istripun merasa aneh sekali Selama ini, mungkin aku salah. “Maafkan aku, sayang.” Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Boss kita kok aneh ya?”
Dan sikap mereka pun langsung berubah.
Mereka pun menjadi lembut.
Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda.Tiba- tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan.
Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.” Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, Ayah selalu stress karena perilaku kami.” Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya? Ia mendatangi sang ustad lagi.
Melihat wajah pria itu, rupanya sang ustad langsung mengetahui apa yang telah terjadi, “Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh.”
“ Apa bila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan.
Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu.
Jadilah lembut, selembut air.
Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan.
Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan.
Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan.
Itulah jalan menuju ketenangan.” Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang ustad, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya.
Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP.
Sudah jenuh betul.
Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau.
Apapun yang saya lakukan selalu berantakan.
Saya ingin mati.” Sang ustad tersenyum dan menasehatinya dengan berbagai cara dan lembut,serta siap membantunya, namun pria itu menolak tawaran sang ustad dan bertekad untuk tetap mati agar hatinya tenang.
Dengan lembut sang ustad berkata ;“Jadi kamu tidak ingin sembuh.
Kamu betul-betul ingin mati?” “Baik, besok sore kamu akan mati.
Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.” Giliran dia menjadi bingung.
Setiap ustad yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup.
Yang satu ini aneh. Ia bahkan menawarkan racun.
Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Pulang kerumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh ustad edan itu.
Dan, ia merasakan ketenangan sebagaimana tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Begitu rileks, begitu santai!. Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati.
Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang.
Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir.
Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget!
Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan membisiki di kupingnya, “Sayang, aku mencintaimu. “Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar.
Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya.
Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi.
Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur.
Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi.
Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya.
Karena pagi itu adalah pagi terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Sang istripun merasa aneh sekali Selama ini, mungkin aku salah. “Maafkan aku, sayang.” Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Boss kita kok aneh ya?”
Dan sikap mereka pun langsung berubah.
Mereka pun menjadi lembut.
Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda.Tiba- tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan.
Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.” Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, Ayah selalu stress karena perilaku kami.” Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya? Ia mendatangi sang ustad lagi.
Melihat wajah pria itu, rupanya sang ustad langsung mengetahui apa yang telah terjadi, “Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh.”
“ Apa bila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan.
Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu.
Jadilah lembut, selembut air.
Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan.
Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan.
Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan.
Itulah jalan menuju ketenangan.” Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang ustad, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya.
Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP.
Kisah obrolan antara oranggila yang alim dan Abid (ahliibadah)
Di suatu negeri, hiduplah seorang abid yang selalu bermunajat kepada Allah Ta’ala di setiap hari-harinya.
Apabila dia ingat atas dosa- dosanya yang telah lalu, tak jarang dia menangis tersedu- sedu sehingga air matanya membasahi hampir sebagian baju yang dikenakannya.
Maklum saja, abid tersebut dulunya adalah seorang yang pernah hidup di lembah hitam yang sudah barang tentu, beraneka macam bentuk kemaksiatan sudah pernah dicicipinya.
Suatu hari, ketika abid tersebut sedang asyik dalam munajatnya dan menangis tersedu-sedu sehingga air matanya membasahi kedua pahanya, lewatlah orang gila melintasi tempat di dekat ahli ibadah tersebut bermunajat. Dalam munajatnya, abid tersebut berkata:
“Wahai Tuhanku…janganlah masukkan aku ke neraka”.
“Belas kasihanilah aku…bersikap lembutlah kepadaku wahai Tuhanku”. “Wahai Dzat yang Maha Rahman dan Rahim…jangan siksa aku dengan neraka-Mu”.
“Aku ini sangat lemah wahai Tuhanku…aku pasti tidak akan kuat bertempat di neraka-Mu…
oleh karena itu, kasihanilah aku wahai Tuhanku”.
“Wahai Tuhanku…Kulitku ini sangat lembut, pasti tidak akan kuat menahan api neraka-Mu.
Oleh karena itu wahai Tuhanku… Kasihanilah aku”.
“Wahai Tuhanku…tulangku sangat rapuh, tidak akan kuat menahan siksaan neraka-Mu,
oleh karena itu wahai Tuhanku… Kasihanilah aku”.
Mendengar ucapan abid yang sedang bermunajat tersebut, orang gila yang sedang melintas tadi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan sangat keras sekali, Ha hahaha
Karena merasa dilecehkan, sambil melotot abid tadi berkata: “Wahai orang gila…apa yang sedang kamu tertawakan??!!”.
Dengan terkekeh orang gila tadi menjawab: “Ucapan dalam munajatmu tadi sungguh membuatku tergelitik untuk tertawa”. Abid menimpali: “Ucapanku yang mana yang membuatmu tertawa wahai orang gila??!”. Orang gila tadi menjawab: “Engkau menangis karena takut dengan neraka…itulah yang membuatku tertawa terbahak- bahak!!” Abid berkata: “Apakah engkau tidak takut dengan neraka wahai orang gila??!”.
Sambil kembali tertawa terbahak-bahak orang gila tersebut menjawab: “Ha ha ha ha ha….Sedikit pun aku tidak takut dengan yang namanya neraka”. Abid berkata: “oowwhh….benar, engkau memang benar-benar gila!!”.
Sambil sedikit menahan tawa, orang gila tadi menjawab: “Kenapa engkau takut dengan neraka wahai abid, sedangkan engkau memiiliki Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim??!, yang rahmat-Nya lebih luas dari apapun juga!!”.
Dengan agak takjub dengan ucapan orang gila tadi, abid tersebut menjawab: “Sesungguhnya aku memiliki dosa yang apabila Allah Ta’ala meminta pertanggung jawaban kepadaku dengan keadilan-Nya, niscaya Allah akan memasukkan aku ke neraka”.
“Oleh karena itu aku menangis wahai orang gila…itu semua aku lakukan agar Allah Ta’ala berbelas kasihan kepadaku, mengampuni dosa-dosaku, tidak meminta pertanggung jawaban kepadaku dengan keadilan-Nya, tetapi dengan keutamaan dan kelembutan-Nya, sehingga
Dia tidak memasukkan aku ke dalam neraka-Nya”. Ha ha ha ha ha ha….!!
Mendengar jawaban abid yang sangat memilukan dan terkesan memelas tersebut, orang gila tadi kembali tertawa terbahak- bahak dengan suara yang lebih keras lagi.
Dengan kesal abid tersebut berkata: “Apa yang engkau tertawakan wahai orang gila??!”.
Masih dalam kedaan terkekeh, orang gila tadi menjawab: “Wahai abid…engkau memiliki Tuhan Yang Maha Adil yang tidak akan pernah berkhianat, tetapi engkau malah takut kepada-Nya”.
“Engkau memiliki Tuhan yang Maha Rahman, Maha Rahim,
Maha menerima taubat…tetapi engkau malah takut dengan nerakanya”.
Sambil agak bingung dengan pernyataan orang gila tadi, abid tersebut berkata: “Apakah engkau tidak takut pada Allah Ta’ala wahai orang gila??!”
Dengan sedikit tertawa orang gila tersebut menjawab: “Iya…aku takut kepada Allah Ta’ala, tetapi takutku kepada- Nya bukan karena neraka-Nya”.
Mendengar jawaban orang gila tersebut, abid tadi bingung dan tidak habis pikir, kemudian bertanya: “Jika engkau tidak takut dengan neraka-Nya, lalu apa yang membuatmu takut kepada Allah Ta’ala??!!”. Tiba-tiba dengan mimik muka yang cukup serius, orang gila tadi menjawab: “Yang aku takutkan adalah ketika nanti aku bertemu dengan Tuhanku dan Dia menanyaiku…wahai hamba-Ku, kenapa engkau bermaksiat kepada-Ku??!” . “Jika saja aku ditakdirkan menjadi calon penghuni neraka, aku sangat berharap supaya aku dimasukkan neraka tanpa dihadapkan kepada-Nya dan ditanyai terlebih dahulu”. “Api neraka lebih ringan menurutku dari pada harus menjwab pertanyaan Allah Ta’ala…aku pasti tidak akan mampu memandang-Nya dengan pandangan seorang pengkhianat ini, serta menjawab pertanyaan-Nya dengan mulut seorang penipu ini”.
“Jika saja dengan dimasukkannya aku ke neraka, itu semua membuat kekasihku ridho kepadaku…maka dengan senang hati aku menerimanya”.
Kemudian dengan suara pelan dan masih dengan mimik muka serius, orang gila tadi kembali berkata: “Wahai abid…maukah kamu aku beri tahu sebuah rahasia, tetapi jangan engkau bocorkan rahasia ini kepada siapapun??!”.
Dengan mimik muka bingung, abid tersebut menjawab: “Apa rahasia tersebut wahai orang gila??!”.
Dengan agak berbisik orang gila tersebut menjawab: “Taukah kamu wahai abid, bahwasanya Tuhanku tidak akan pernah memasukkan aku ke neraka…taukah kamu kenapaa!!”
Dengan terkejut dan bingung abid tadi berkata: “Loh….kok bisa begitu wahai orang gila??!”.
Dengan tenang dan tatapan mata menerawang jauh, orang gila tersebut menjawab: “Itu semua disebabkan karena aku beribadah kepada-Nya dengan dasar cinta dan rindu, sedangkan engkau wahai abid, engkau beribadah kepada-Nya dengan dasar takut serta tamak akan surga-Nya”.
“Persangkaanku kepada-Nya lebih baik dari pada persangkaanmu…harapanku kepada-Nya lebih baik dari pada harapanmu”.
“Oleh karena itu wahai abid, perbaikilah harapanmu kepada Tuhanmu dengan sebaik-baik harapan”. “Taukah engakau wahai abid… dulu ketika Musa alaihissalam melihat api di gunung Thursina lalu mendatanginya dengan harapan mendapat sedikit kehangatan dari api tersebut, ia kembali menjadi seorang Nabi, dan aku…aku pergi menuju Tuhanku dengan membawa cinta dan rindu untuk melihat keindahan-Nya, maka aku kembali sebagai orang gila”.
Setelah berkata demikian, tiba- tiba orang gila tersebut kembali terawa terbahak- bahak lalu pergi meninggalkan abid begitu saja.
Dan dengan dihinggapi rasa takjub yang luar biasa atas ucapan orang gila tadi, sambil kembali menangis abid tersebut berkata: “Subhanallah…orang gila tadi adalah bukan orang sembarangan, dia adalah paling cerdas-cerdasnya orang yang pernah aku temui sepanjang hidupku”.
*Walaupun tidak jelas dari mana sumber kisah ini, namun tetap saya tulis. Yaaah….meskipun begitu, semoga tetap ada manfaat meski sedikit dari tulisan ini. Juga, semoga bisa menjadi ibaroh serta bahan renungan bagi kita semua…Amin.
Apabila dia ingat atas dosa- dosanya yang telah lalu, tak jarang dia menangis tersedu- sedu sehingga air matanya membasahi hampir sebagian baju yang dikenakannya.
Maklum saja, abid tersebut dulunya adalah seorang yang pernah hidup di lembah hitam yang sudah barang tentu, beraneka macam bentuk kemaksiatan sudah pernah dicicipinya.
Suatu hari, ketika abid tersebut sedang asyik dalam munajatnya dan menangis tersedu-sedu sehingga air matanya membasahi kedua pahanya, lewatlah orang gila melintasi tempat di dekat ahli ibadah tersebut bermunajat. Dalam munajatnya, abid tersebut berkata:
“Wahai Tuhanku…janganlah masukkan aku ke neraka”.
“Belas kasihanilah aku…bersikap lembutlah kepadaku wahai Tuhanku”. “Wahai Dzat yang Maha Rahman dan Rahim…jangan siksa aku dengan neraka-Mu”.
“Aku ini sangat lemah wahai Tuhanku…aku pasti tidak akan kuat bertempat di neraka-Mu…
oleh karena itu, kasihanilah aku wahai Tuhanku”.
“Wahai Tuhanku…Kulitku ini sangat lembut, pasti tidak akan kuat menahan api neraka-Mu.
Oleh karena itu wahai Tuhanku… Kasihanilah aku”.
“Wahai Tuhanku…tulangku sangat rapuh, tidak akan kuat menahan siksaan neraka-Mu,
oleh karena itu wahai Tuhanku… Kasihanilah aku”.
Mendengar ucapan abid yang sedang bermunajat tersebut, orang gila yang sedang melintas tadi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan sangat keras sekali, Ha hahaha
Karena merasa dilecehkan, sambil melotot abid tadi berkata: “Wahai orang gila…apa yang sedang kamu tertawakan??!!”.
Dengan terkekeh orang gila tadi menjawab: “Ucapan dalam munajatmu tadi sungguh membuatku tergelitik untuk tertawa”. Abid menimpali: “Ucapanku yang mana yang membuatmu tertawa wahai orang gila??!”. Orang gila tadi menjawab: “Engkau menangis karena takut dengan neraka…itulah yang membuatku tertawa terbahak- bahak!!” Abid berkata: “Apakah engkau tidak takut dengan neraka wahai orang gila??!”.
Sambil kembali tertawa terbahak-bahak orang gila tersebut menjawab: “Ha ha ha ha ha….Sedikit pun aku tidak takut dengan yang namanya neraka”. Abid berkata: “oowwhh….benar, engkau memang benar-benar gila!!”.
Sambil sedikit menahan tawa, orang gila tadi menjawab: “Kenapa engkau takut dengan neraka wahai abid, sedangkan engkau memiiliki Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim??!, yang rahmat-Nya lebih luas dari apapun juga!!”.
Dengan agak takjub dengan ucapan orang gila tadi, abid tersebut menjawab: “Sesungguhnya aku memiliki dosa yang apabila Allah Ta’ala meminta pertanggung jawaban kepadaku dengan keadilan-Nya, niscaya Allah akan memasukkan aku ke neraka”.
“Oleh karena itu aku menangis wahai orang gila…itu semua aku lakukan agar Allah Ta’ala berbelas kasihan kepadaku, mengampuni dosa-dosaku, tidak meminta pertanggung jawaban kepadaku dengan keadilan-Nya, tetapi dengan keutamaan dan kelembutan-Nya, sehingga
Dia tidak memasukkan aku ke dalam neraka-Nya”. Ha ha ha ha ha ha….!!
Mendengar jawaban abid yang sangat memilukan dan terkesan memelas tersebut, orang gila tadi kembali tertawa terbahak- bahak dengan suara yang lebih keras lagi.
Dengan kesal abid tersebut berkata: “Apa yang engkau tertawakan wahai orang gila??!”.
Masih dalam kedaan terkekeh, orang gila tadi menjawab: “Wahai abid…engkau memiliki Tuhan Yang Maha Adil yang tidak akan pernah berkhianat, tetapi engkau malah takut kepada-Nya”.
“Engkau memiliki Tuhan yang Maha Rahman, Maha Rahim,
Maha menerima taubat…tetapi engkau malah takut dengan nerakanya”.
Sambil agak bingung dengan pernyataan orang gila tadi, abid tersebut berkata: “Apakah engkau tidak takut pada Allah Ta’ala wahai orang gila??!”
Dengan sedikit tertawa orang gila tersebut menjawab: “Iya…aku takut kepada Allah Ta’ala, tetapi takutku kepada- Nya bukan karena neraka-Nya”.
Mendengar jawaban orang gila tersebut, abid tadi bingung dan tidak habis pikir, kemudian bertanya: “Jika engkau tidak takut dengan neraka-Nya, lalu apa yang membuatmu takut kepada Allah Ta’ala??!!”. Tiba-tiba dengan mimik muka yang cukup serius, orang gila tadi menjawab: “Yang aku takutkan adalah ketika nanti aku bertemu dengan Tuhanku dan Dia menanyaiku…wahai hamba-Ku, kenapa engkau bermaksiat kepada-Ku??!” . “Jika saja aku ditakdirkan menjadi calon penghuni neraka, aku sangat berharap supaya aku dimasukkan neraka tanpa dihadapkan kepada-Nya dan ditanyai terlebih dahulu”. “Api neraka lebih ringan menurutku dari pada harus menjwab pertanyaan Allah Ta’ala…aku pasti tidak akan mampu memandang-Nya dengan pandangan seorang pengkhianat ini, serta menjawab pertanyaan-Nya dengan mulut seorang penipu ini”.
“Jika saja dengan dimasukkannya aku ke neraka, itu semua membuat kekasihku ridho kepadaku…maka dengan senang hati aku menerimanya”.
Kemudian dengan suara pelan dan masih dengan mimik muka serius, orang gila tadi kembali berkata: “Wahai abid…maukah kamu aku beri tahu sebuah rahasia, tetapi jangan engkau bocorkan rahasia ini kepada siapapun??!”.
Dengan mimik muka bingung, abid tersebut menjawab: “Apa rahasia tersebut wahai orang gila??!”.
Dengan agak berbisik orang gila tersebut menjawab: “Taukah kamu wahai abid, bahwasanya Tuhanku tidak akan pernah memasukkan aku ke neraka…taukah kamu kenapaa!!”
Dengan terkejut dan bingung abid tadi berkata: “Loh….kok bisa begitu wahai orang gila??!”.
Dengan tenang dan tatapan mata menerawang jauh, orang gila tersebut menjawab: “Itu semua disebabkan karena aku beribadah kepada-Nya dengan dasar cinta dan rindu, sedangkan engkau wahai abid, engkau beribadah kepada-Nya dengan dasar takut serta tamak akan surga-Nya”.
“Persangkaanku kepada-Nya lebih baik dari pada persangkaanmu…harapanku kepada-Nya lebih baik dari pada harapanmu”.
“Oleh karena itu wahai abid, perbaikilah harapanmu kepada Tuhanmu dengan sebaik-baik harapan”. “Taukah engakau wahai abid… dulu ketika Musa alaihissalam melihat api di gunung Thursina lalu mendatanginya dengan harapan mendapat sedikit kehangatan dari api tersebut, ia kembali menjadi seorang Nabi, dan aku…aku pergi menuju Tuhanku dengan membawa cinta dan rindu untuk melihat keindahan-Nya, maka aku kembali sebagai orang gila”.
Setelah berkata demikian, tiba- tiba orang gila tersebut kembali terawa terbahak- bahak lalu pergi meninggalkan abid begitu saja.
Dan dengan dihinggapi rasa takjub yang luar biasa atas ucapan orang gila tadi, sambil kembali menangis abid tersebut berkata: “Subhanallah…orang gila tadi adalah bukan orang sembarangan, dia adalah paling cerdas-cerdasnya orang yang pernah aku temui sepanjang hidupku”.
*Walaupun tidak jelas dari mana sumber kisah ini, namun tetap saya tulis. Yaaah….meskipun begitu, semoga tetap ada manfaat meski sedikit dari tulisan ini. Juga, semoga bisa menjadi ibaroh serta bahan renungan bagi kita semua…Amin.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Popular Posts
About
[ Blog Archive ]
Powered by Blogger.
0 comments: